Kamis, 12 Januari 2017

Kerukunan Masyarakat Papua "Tiga Batu Satu Tungku"


Prinsip kerukunan "Tiga Batu Satu Tungku" ini terjadi di Fak Fak, Papua Barat untuk mendeskripsikan prinsip hidup warga Papua dalam menjaga keseimbangan dan kebersamaan hidup, antara lain melalui penghormatan yang tinggi terhadap pentingnya kerukunan hidup antarumat beragama yang ada di daerah itu, yakni Islam, Kristen, dan Katolik. Secara simbolik hal itu ditunjukkan oleh tiga rumah ibadah besar di Fakfak. Katedral Santo Yoseph, Masjid Agung Jami, dan Gereja Bethel Indonesia berdiri berdampingan membentuk segitiga garis imajiner.

‘Tungku’ adalah kebersamaan hidup. ‘Tiga Batu’ adalah simbol dari tiga agama besar yang ada di daerah itu, yaitu Kristen, Katolik, dan Islam. Mereka meyakini, jika keseimbangan itu tetap terjaga stabil, maka semua persoalan hidup dapat diatasi dengan baik. Semboyan ‘Tiga Batu Satu Tungku’ juga berarti sinergi yang harmonis antara tiga elemen masyarakat dalam pembangunan, yaitu Adat, Agama, dan Pemerintah. Sinergi artinya mengelola perbedaan agar tidak menimbulkan perpecahan. Pemkab Fak Fak juga menjadikan ‘Tiga Batu Satu Tungku’ sebagai modal dasar pembangunan di daerahnya. Kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Fak Fak.

Kerukunan itu juga dipraktikan dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Warga Muslim sering diundang perayaan Natal. Demikianpun sebaliknya, penganut agama lain yang ikut berbuka puasa bersama umat islam pada bulan Ramadhan. Sebesar 60 persen warganya yang menganut agama Islam, Fak Fak menjadi satu-satunya kabupaten di Provinsi Papua Barat dengan pemeluk Islam terbesar. Sementara kabupaten-kabupaten lainnya mayoritas beragama Kristen dan Katolik.

Dalam konteks kebersamaan, suku Bahamata adalah sebutan untuk masyarakat asli Fak Fak, baik yang tinggal di pegunungan, pantai, Kota dan pulau-pulau kecil. Namun untuk kebersamaan, warga asli Fak Fak menganggap warga non Papua sebagai warga Bahamata juga. Kebanyakan mereka berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Dengan komposisi penduduk seperti itu, filosofi ‘Satu Tungku Tiga Batu’ di Fak Fak terasa begitu relevan untuk terus dipertahankan sampai kapanpun, agar dalam keseharian interaksi sosial mereka bisa berlangsung tanpa sekat. Sebuah kearifan lokal (local wisdom) yang patut ditiru.



Hal itu ada berkat pemikiran cerdas para visioner Fak Fak tiga abad yang lalu. Prinsip ‘Satu Tungku Tiga Batu’ itu juga mereka visualisasikan dalam bangunan Masjid yang dibangun persis di bibir pantai Kampung Patimburak (100 kilo meter dari Kota Fak Fak) yang memadukan bentuk Masjid dan Gereja. Bangunan dan ornamen Masjid itu menjadi simbol toleransi penuh makna. Konon, Masjid itu sudah ada sejak tahun 1700-an. Semoga filosofi sederhana ‘Satu Tungku Tiga Batu’ dari Fak Fak ini bisa menginspirasi seluruh anak bangsa untuk menjaga kerukunan umat beragama di Tanah Air. Meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu.




Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ricard.kupang/filosofi-kerukunan-tiga-batu-satu-tungku_552b013bf17e611461d623b1




Nama : Yu'thika Amalina
NPM  : 152050033
Kelas  : Ilmu Komunikasi (G)